Home » , » Ethical Governance

Ethical Governance

ilustrasi
 

I. PENDAHULUAN
Dibentuknya suatu pemerintahan memiliki tujuan utama yaitu untuk menjaga suatu sistem ketertiban yang memungkinkan masyarakat didalamnya dapat melakukan aktivitas kehidupannya secara normal. Oleh sebab tersebut pada hakikatnya pemerintah diperlukan adalah untuk memberikan suatu pelayanan kepada masyarakat.
Suatu pemerintahan tidak dibentuk hanya untuk melayani dirinya sendiri, melainkan untuk memberi pelayanan kepada masyarakat, dengan menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat untuk dapat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama.
Fenomena yang nampak dewasa ini adalah kecenderungan dan pertumbuhan ke arah mensukseskan pembangunan di segala bidang. Untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan tersebut, ethical governance menjadi topik utama dalam pembicaraan, terutama dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan memiliki wibawa.
Aparatur pemerintahan harus menjadi saluran atau jembatan pengabdi dan dapat melaksanakan kepentingan umum dengan penuh dedikasi dan loyalitas, bukan malah sebaliknya melakukan penyalahgunakan kekuasaan, mencari kesempatan untuk mendapat keuntungan bagi dirinya sendiri.
Masyarakat dapat mengetahui apabila terjadi tidak lancarnya pelayanan, terdapat penyelewengan dan atau penyimpangan. Apabila hal tersebut terjadi maka akan dapat berakibat menimbulkan reaksi oleh masyarakat. Oleh sebab itu sekiranya timbul reaksi tidak kentara di mata masyarakat, karena reaksi tersebut dapat menimbulkan public opinion yang didasarkan oleh perasaan umum tidak puas dan akhirnya dapat menjelma menjadi pendapat umum yang dapat merongrong kewibawaan pemerintah.

 

II. DASAR TEORI
Landasan dasar dalam tugas papper ini adalah:
Falsafah Pancasila dan Konstitusi/UUD 1945 Negara RI;
TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (LN No. 169 dan Tambahan LN No. 3090);
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah;
PP No. 60 tentang Disiplin Pegawai Negeri.

 

III. PEMBAHASAN
KONDISI IDEAL
1. Pengertian Etika
Etika berasal dari perkataan yunani “ethes” berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan.
Dalam bahasa Latin dikenal dengan perkataan Mores yang berarti pula kesusilaan, tingkat salah satu perbuatan lahir, perilaku, tingkah laku. Perkataan Mores kemudian berubah menjadi mempunyai arti sama dengan etika atau sebaliknya. Etika disebut pula “moral phiciolophy” karena mempelajari moralitas dari perbuatan manusia. Sedangkan morality adalah apa yang baik atau apa yang buruk, benar atau salah dengan menggunakan ukuran norma atau nilai.
Moral terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat, tidak ada moral bila tidak ada masyarakat, dan ini berkaitan dengan kesadaran kolektif.
2. Pengertian Pemerintah
Government dari bahasa Inggris dan Gouvernment dari bahasa Perancis yang keduanya berasal dari bahasa Latin yaitu “Gubernaculum” yang memiliki arti kemudi, tetapi diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Pemerintah atau Pemerintahan dan terkadang juga menjadi Penguasa.
Pemerintah dalam arti sempit dimaksudkan khusus untuk kekuasan eksekutif sedangkan dalam arti luas adalah kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemerintah dalam arti sempit berdasarkan UUD yang pernah berlaku di Indonesia yaitu UUD 1945, UUDS 1950, dan UUD Konstitusi RIS 1949.
Pemerintahan dalam arti luas adalah segala kegiatan badan-badan publik yang meliputi kegiatan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam usaha mencapai tujuan negara. Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit yaitu segala kegiatan badan-badan publik yang hanya meliputi kekuasaan eksekutif (C.F.Strong).
3. Etika Pemerintah
Aparatur negara dan pemerintah memiliki tugas untuk mendidik rakyat. Mendidik orang lain berarti mendidik diri sendiri, oleh karena itu seorang pemimpin/pelaksana negara yang sadar akan kewajibannya sebagai pendidik, hendaknya berusaha agar:
·        Dalam hidup sehari-hari menjadi contoh teladan, panutan bagi umum dan kesusilaan.
·        Dalam usahanya sehari-hari selalu memperhatikan kemajuan lahir batin masyarakatnya.
Ajaran untuk berperilaku yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia disebut etika pemerintahan. Selain itu etika pemerintahan juga merupakan bagian dari praktek yurisprudensi atau filosofi hukum yang mengatur operasi dari pemerintah dan hubungannya dengan orang-orang dalam pemerintahan.
Prinsip-prinsip etika harus disesuaikan dengan keadaan, waktu, dan tempat. Prinsip-prinsip etika yang bersifat authority, yang bersifat perintah menjadi suatu peraturan sehingga kadang-kadang merupakan atribut yang tidak bisa dipisahkan. Dalam etika pemerintahan, apa yang dianjurkan merupakan paksaan (imperatif) yang dalam kehidupan sehari-hari dapat menimbulkan kesulitan.
Di atas telah diuraikan bahwa apa yang dilihat adalah authority misalnya, berpakaian dinas (PSH, PSR, PSL) sebenarnya merupakan masalah etika, tetapi kalau sudah dituangkan bukan lagi bersifat etis, melainkan bersifat pelaksanaan (operasional).
Kendatipun tidak ada sanksi yang tegas pada etika, karena mengikuti adanya perubahan-perubahan di dalam masyarakat, tergantung dengan kebutuhan (needs), kehendak masyarkat yang pada suatu waktu dan tempat dapat berubah-ubah. Etika digantungkan dengan authority, menghendaki orang harus tunduk pada perintah. Sedangkan pemerintah mempunyai sifat authority, sifat memaksakan.
Pemerintah tidaklah sama dengan masyarakat, disinilah letak sulitnya mempelajari etika pemerintahan. Pemerintah tidak dapat melaksanakan perintah sekehendaknya yang bertentangan dengan nilai etika masyarakat. Etika Dalam Fungsi Pemerintahan yaitu:
·      Etika Dalam Proses Kebijakan Publik (Public Policy Etic);
·      Etika dalam Pelayanan Publik (Public Service Etic);
·      Etika dalam Pengaturan dan Penataan Kelembagaan Pemerintahan (Rule and administer institutional etic);
·      Etika dalam Pembinaan dan pemberdayaan Masyarakat (Guide and social empowering etic);
·     Etika dalam Kemitraan antara pemerintahan, pemerintah dengan swasta, dan dengan masyarakat (Partnership governmental, private and sosiety etic).
Etika Pemerintah mencakup isu-isu kejujuran dan transparansi dalam pemerintahan, berurusan dengan hal-hal seperti:

 
Penyuapan
Suatu bentuk korupsi adalah tindakan memberikan hadiah yang dapat berupa uang, barang, properti, keutamaan, keistimewaan, honorarium, objek nilai, keuntungan, atau hanya janji untuk membujuk atau mempengaruhi tindakan, suara, atau pengaruh seseorang dalam resmi atau kapasitas publik.

 
Korupsi Politik
Korupsi politik adalah penggunaan kekuasaan diatur oleh pejabat pemerintah untuk keuntungan pribadi tidak sah. Penyalahgunaan pemerintah kekuasaan untuk tujuan lain, seperti represi lawan politik dan umum kebrutalan polisi, tidak dianggap korupsi politik. Baik tindakan ilegal oleh orang pribadi atau perusahaan tidak terlibat langsung dengan pemerintah.
Tindakan ilegal oleh sebuah officeholder merupakan korupsi politik hanya jika tindakan secara langsung berkaitan dengan tugas resmi mereka. Bentuk korupsi beragam termasuk penyuapan, pemerasan, kroniisme, nepotisme, patronase, korupsi, dan penggelapan. Sementara korupsi dapat memfasilitasi perusahaan kriminal seperti perdagangan narkoba, pencucian uang, dan perdagangan manusia, tidak terbatas pada kegiatan ini.

 
Korupsi Polisi
Korupsi Polisi adalah bentuk spesifik dari perilaku salah polisi yang dirancang untuk memperoleh keuntungan keuangan, keuntungan pribadi lainnya, dan/atau pengembangan karir bagi petugas polisi atau petugas dalam pertukaran untuk tidak mengejar, atau selektif mengejar, penyelidikan atau penangkapan. Salah satu bentuk umum dari korupsi polisi adalah meminta dan/atau menerima suap sebagai imbalan untuk tidak melaporkan obat terorganisir atau cincin prostitusi atau kegiatan ilegal lainnya. Contoh lain adalah polisi melanggar kode etik dalam rangka untuk mengamankan keyakinan tersangka, misalnya melalui penggunaan bukti yang dipalsukan.

 
Legislatif Etika / Kode Etik
Sebuah kode etik yang diadopsi oleh organisasi dalam upaya untuk membantu mereka dalam organisasi dipanggil untuk membuat keputusan memahami perbedaan antara 'benar' dan 'salah' dan menerapkan pemahaman ini untuk keputusan mereka. Kode etik karena itu umumnya berarti dokumen yang ada di tiga tingkat: 1) Etika bisnis perusahaan, 2) Etika karyawan, 3) Etika professional.

 
Peraturan Etika
Peraturan etika / Regulatory Etical adalah badan hukum dan praktis filsafat politik yang mengatur pelaksanaan pegawai negeri dan anggota lembaga regulator. Ini membahas isu-isu seperti penyuapan dan hubungan pegawai negeri dengan bisnis dalam industri mereka mengatur, serta kekhawatiran tentang transparansi, kebebasan informasi dan undang-undang, dan konflik kepentingan aturan.

 
Konflik Kepentingan
Suatu konflik kepentingan (COI) terjadi ketika sebuah individu atau organisasi yang terlibat dalam berbagai kepentingan, salah satunya mungkin korup motivasi untuk bertindak dalam lainnya. Suatu konflik kepentingan hanya bisa ada jika seseorang atau kesaksian yang dipercayakan dengan tidak memihak beberapa, sebuah jumlah sedikit kepercayaan diperlukan untuk menciptakannya. Kehadiran konflik kepentingan adalah independen dari eksekusi dari ketidakpantasan. Oleh karena itu, konflik kepentingan dapat ditemukan dan sukarela dijinakkan sebelum korupsi terjadi. COI kadang-kadang disebut persaingan kepentingan daripada "konflik", menekankan konotasi alam persaingan antara kepentingan sah daripada konflik kekerasan dengan konotasi yang menjadi korban dan agresi tidak adil. Namun demikian, denotatively , ada terlalu banyak tumpang tindih antara istilah untuk membuat diferensiasi objektif.

 
Menghindari Munculnya Ketidakpantasan
Munculnya ketidakpantasan adalah frase merujuk pada situasi yang etika dianggap dipertanyakan. Untuk seorang awam, tanpa pengetahuan tentang fakta-fakta tertentu, komentar atau tindakan tersebut muncul tidak pantas atau pelanggaran terhadap aturan atau regulasi.

 
Pemerintah Terbuka/Transparan
Pemerintahan yang transparan adalah mengatur doktrin yang memegang bahwa usaha dan negara administrasi pemerintah harus dibuka di semua tingkatan untuk efektif publik keterbukaan dan pengawasan. Dalam terluas konstruksi itu menentang alasan negara dan rasis pertimbangan, yang cenderung melegitimasi negara yang luas kerahasiaan.

 
Etika hukum
Etika hukum mencakup sebuah kode etik yang mengatur perilaku orang-orang yang terlibat dalam praktek hukum dan orang-orang lebih umum di sektor hukum.

KONDISI DI INDONESIA
Di Indonesia, hal tentang etika pemerintah pertama kali dipelopori oleh Walikota Solok Drs. H. Syamsu Rahim. Beliau membuat Perda tentang Etika Pemerintah di Solok, yaitu PERDA No. 1 Tahun 2008 tentang Etika Pemerintahan Daerah Kota Solok. Sedangkan untuk daerah lain bahkan Indonesia belum membuat peraturan khusus tentang etika pemerintah.
Menurut Ryaas Rasyid, pilar pemerintahan itu ada 3 (tiga) yaitu hukum, konstitusi dan etika. Rupanya setelah lebih setengah abad Indonesia merdeka, pilar terpenting dari pemerintahan yaitu etika belum ada dan ini hal yang sangat serius, karena di negara sebesar Amerika, Perancis Inggris dan negara-negara besar lainnya, justru kita melihat tidak ada Undang-undang anti korupsi, lembaga semacam KPK, TIPIKOR dan lain-lain, yang ada hanyalah undang-undang tentang etika penyelenggara negara dan nyatanya korupsi tidak membudaya ditengah-tengah mereka.
Undang-undang ini sangat efektif menangkal terjadinya tindak pidana korupsi, manipulatif dan tindakan asusila lainnya dari penyelenggara pemerintahan/negara. Fakta yang ada, meski produk-produk hukum telah demikian banyak dibuat, seminar-seminar tentang pemerintahan yang bersih dan berwibawa telah ratusan kali digelar, institusi penegak hukum dan lembaga pengawas telah berbagai corak dan ragam dibentuk, tetapi penyelenggara pemerintahan masih sering keluar masuk media pemberitaan karena korupsi, manipulasi dan perbuatan tak beretika lainnya.
Jika kita menonton televisi dan atau membaca berita kalau tidak ada “cerita” tentang korupsi, manipulasi dan bahkan yang trend sekarang adalah perbuatan tindak asusila oknum pejabat yang mengabadikan perbuatan mesumnya dengan perempuan-perempuan nakal. Contohnya saja seperti beberapa kasus yang terjadi di badan pemerintahan:
1. Korupsi
Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara, adalah US $ 24.8 juta. Para tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo.
2. Nepotisme
Busang adalah tambang emas terbesar di dunia, proyek Busang I diperkirakan mempunyai kandungan sekitar 47 juta ounces. Kalau 1 ounces itu besarnya sekitar 28.35 gram, artinya deposit Busang I itu saja nilainya mendekati Rp100 trilyun. Sudah ramai diberitakan bahwa perusahaan Kanada Bre-X Minerals, dikabarkan menggandeng putra Presiden RI, Sigit Harjojudanto untuk menggarap proyek raksasa itu. Tapi, akibat sengketa kepemilikan saham antara Bre-X dengan perusahaan lokal milik aktivis PDI Jusuf Merukh, maka kontrak karya (contracts of works) untuk Bre-X tak kunjung muncul dari Departemen Pertambangan dan Energi. Di lain pihak, ada konsorsium lain yang ingin juga menambang Busang. Konsorsium itu terdiri dari Siti Hardijanti Rukmana (putri Presiden Soeharto), Airlangga Hartarto (anak Menko Hartarto), dan I. B. Dharma Yoga (anak Menteri IB Sudjana). Bahkan, belakangan beredar kabar bahwa Departemen Pertambangan menyetujui konsorsium baru ini menggandeng perusahaan Kanada yang lebih senior, Barrick Gold Corp, dan memegang 75 persen saham Busang. Bre-X diberitakan hanya kebagian 25 persen. Itu pun, kedua pihak masih harus menyetorkan 10 persen untuk pemerintah Indonesia. Soal Busang ini sangat membuat curiga banyak kalangan setelah Menteri I. B. Sudjana mencopot kewenangan Dirjen Pertambangan Kuntoro Mangkusubroto untuk memberikan izin kontrak kerja (contracts of work) pada pertengahan November 1996 lalu. Di DPR, I. B. Sudjana menjelaskan bahwa usaha pemerintah untuk meminta 10 persen saham di Busang sudah merupakan langkah maju, meskipun sebuah sumber TEMPO Interaktif tak setuju dengan intervensi yang terlalu jauh model Sudjana ini. Kemudian, Sudjana juga mengungkapkan bahwa pihaknya akan meminta BUMN PT Aneka Tambang dan PT Timah untuk ikut memiliki saham di Busang. Dengan demikian, cerita pembagian saham di Busang agaknya belum final. Walaupun demikian, I. B. Sudjana tak menjelaskan mengapa anaknya ikut-ikutan bermain di Busang.
3. Kolusi
1)   Tindak kolusi antara PDIP dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom.
2)     Kasus kolusi antara Grup Bakrie dan pegawai Ditjen Pajak Gayus Tambunan.
4. Melanggar aturan
Tindakan melanggar aturan ini misalnya adalah tidak memenuhi kewajiban yang seharusnya, misalnya sekretaris Lurah Ciputat Syaiful Bahri bolos kerja hanya untuk mendukung kandidat walikota Ciputat yakni Airin. Bahkan ia dan beberapa PNS yang bolos lainnya menyogok wartawan dengan seekor kambing agar tidak memberitakan mereka di media massa.
5. Asusila
Kasus asusila penyanyi dangdut Maria Eva dan anggota Fraksi Partai Golkar DPR Yahya Zain seperti diberitakan, skandal seks Maria Eva dan Yahya Zaini terbongkar setelah beredar adegan asusila di masyarakat yang diduga dilakukan tahun 2004 lalu. Akibat skandal itu, Yahya terpaksa mengundurkan diri sebagai Ketua DPP Partai Golkar dan Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar DPR.
Maria Eva sempat mengaku melakukan aborsi janin hasil hubungan gelap dengan Yahya Zaini dengan persetujuan Yahya Zaini dan isterinya. Di tengah sorotan pemberitaan yang gencar, muncul kabar Yahya Zaini sempat diperas Rp5 miliar. Kasus ini sungguh menggelitik, yang seharusnya seorang wakil rakyat memberi contoh tetapi malah menjadi pembicaraan kurang baik di tengah masyarakat.
Etika pemerintahan di Indonesia belum benar-benar diterapkan dengan baik, ini disesabkan karena adanya patologi etika birokrasi pemerintahan. Patologi berupa hambatan atau penyakit dalam birokrasi pemerintahan sifatnya politis, ekonomis, sosio-kultural, dan teknologikal. Patologi birokrasi dalam etika pemerintahan berupa:
  • 1)     Patologi akibat persepsi, perilaku dan gaya manajerial berupa penyalahgunaan wewenang, statusquo, menerima sogok, takut perubahan dan inovasi, sombong menghindari keritik, nopoteisme, arogan, tidak adil, paranoia, otoriter, patronase, xenopobia dsb;
  • 2)     Patologi akibat pengetahuan dan keterampilan berupa: puas diri, tidak teliti, bertindak tanpa berpikir, counter produktif, tidak mau berkembang/belajar, pasif, kurang prakarsa/inisiatif, tidak produktif, stagnasi dsb.
  • 3)     Patologi karena tindakan melanggar hukum berupa: markup, menerima suap, tidak jujur, korupsi, penipuan, kriminal, sabotase, dsb.
  • 4)     Patologi akibat keprilakukan berupa: kesewenangan, pemaksaan, konspirasi, diskriminasi, tidak sopan, kerja legalistik, dramatisiasi, indisipliner, inersia, tidak berkeprimanusiaan, negatifisme, kepentingan sendiri, non profesional, vested interest, pemborosan dsb.
  • 5)     Patologi akibat sitasi internal berupa: tujuan dan sasaran tidak efektif dan efisien, kewajiban sebagai beban, eksploitasi, eksstrosi/pemerasan, pengangguran terselubung, kondisi kerja yang tidak nyaman, tidak adan kinerja, miskomunikasi dan informasi, spoil sisten, oper personil dsb.

Agar Etika Pemerintahan dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan pembaharuan perilaku etika penyelenggara pemerintahan dan kelembagaan birokrasi seperti:
  • Redifinisi, reorientasi dan revitalisasi perilaku birokrasi politik dan administrasi pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan negara, bangsa dan masyarakat;
  • Pembaharuan sistem kelembagaan pemerintahan yang berorientasi pada kinerja organisasi;
  • Pembaharuan manajemen pemerintahan yang memiliki kepemimpinan visoner dan akuntabilitas pemerintahan;
  • Perilaku individu Aparatur birokrasi Pemerintahan pada standar berkualifikasi, kompetensi dan profesional dan berbudaya;
  • Struktur kelembagaan birokrasi pemerintahan berbasis kompetensi;
  • Fungsi birokrasi pemerintahan (kebijakan, pelayanan, kemitraan, kerjasama, pemberdayaan dsb.);
  • Proses birokrasi pemerintahan dengan pendekatan manajemen strategis;
  • Perilaku birokrasi pemerintahan berorientasi nilai, norma, aturan, etika, moral, adat istiadat dan budaya birokrasi.

 

IV PENUTUP

Kesimpulan
Etika pemerintahan tidaklah berdiri sendiri, penegakannya terjalin erat dengan pelaksanaan prinsip penerapan hukum. Itulah sebabnya, maka sebuah pemerintahan yang bersih, yang segala tingkah laku dan produk kebijakannya berangkat dari komitmen moral yang kuat, hanya dapat dinikmati oleh refresentasi pemenuhan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat dengan lebih baik.
Setiap warga masyarakat berhak memperoleh pelayanan dan perlakuan yang adil dari aparatur pemerintah berdasarkan nilai-nilai etika dan hukum yang berlaku. Etika dalam pemerintahan sudah memiliki landasan tersendiri, namun di Indonesia kerap terjadi pelanggaran etika, baik di pemerintahan tingkat daerah sampai nasional.
Sebagai penanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan, fasilitator dan pengarah pembangunan, pelayan masyarakat dan sebagai motivator dalam pemberdayaan masyarakat, penulis melihat, merasakan dan mengalami betapa rumit dan susahnya kita membangun pemahaman, persepsi dan tindakan operasional yang sama dalam mengelola pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, padahal seperti tadi telah penulis sampaikan, sudah begitu banyak peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan untuk dijadikan pedoman dan petunjuk untuk itu.
Baik atau tidak baik jalannya roda pemerintahan, kegiatan pembangunan, pelayanan dan kegiatan pemberdayaan masyarakat ternyata tidak hanya tergantung pada pemerintah saja, tidak hanya tergantung pada DPRD saja dan juga tidak hanya tergantung pada masyarakat saja, tetapi sangat ditentukan oleh ketiga komponen tadi secara bersama-sama, apakah mempunyai komitment dan kemauan untuk menyelenggarakan kepemerintahan yang baik atau tidak.

Saran
Aparatur pemerintah seyogianya menjadikan dirinya sebagai teladan di dalam pelaksanaan etika, hukum dan konstitusi dengan kata lain, sudah bukan waktunya lagi, pemerintah dapat begitu saja mengambil hak milik orang lain tanpa kewenangan yang jelas dan disertai pemberian imbalan atau ganti rugi yang wajar.


Referensi:

0 komentar:

Posting Komentar