Ethical Governance

ilustrasi
 

I. PENDAHULUAN
Dibentuknya suatu pemerintahan memiliki tujuan utama yaitu untuk menjaga suatu sistem ketertiban yang memungkinkan masyarakat didalamnya dapat melakukan aktivitas kehidupannya secara normal. Oleh sebab tersebut pada hakikatnya pemerintah diperlukan adalah untuk memberikan suatu pelayanan kepada masyarakat.
Suatu pemerintahan tidak dibentuk hanya untuk melayani dirinya sendiri, melainkan untuk memberi pelayanan kepada masyarakat, dengan menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat untuk dapat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama.
Fenomena yang nampak dewasa ini adalah kecenderungan dan pertumbuhan ke arah mensukseskan pembangunan di segala bidang. Untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan tersebut, ethical governance menjadi topik utama dalam pembicaraan, terutama dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan memiliki wibawa.
Aparatur pemerintahan harus menjadi saluran atau jembatan pengabdi dan dapat melaksanakan kepentingan umum dengan penuh dedikasi dan loyalitas, bukan malah sebaliknya melakukan penyalahgunakan kekuasaan, mencari kesempatan untuk mendapat keuntungan bagi dirinya sendiri.
Masyarakat dapat mengetahui apabila terjadi tidak lancarnya pelayanan, terdapat penyelewengan dan atau penyimpangan. Apabila hal tersebut terjadi maka akan dapat berakibat menimbulkan reaksi oleh masyarakat. Oleh sebab itu sekiranya timbul reaksi tidak kentara di mata masyarakat, karena reaksi tersebut dapat menimbulkan public opinion yang didasarkan oleh perasaan umum tidak puas dan akhirnya dapat menjelma menjadi pendapat umum yang dapat merongrong kewibawaan pemerintah.

 

II. DASAR TEORI
Landasan dasar dalam tugas papper ini adalah:
Falsafah Pancasila dan Konstitusi/UUD 1945 Negara RI;
TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (LN No. 169 dan Tambahan LN No. 3090);
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah;
PP No. 60 tentang Disiplin Pegawai Negeri.

 

III. PEMBAHASAN
KONDISI IDEAL
1. Pengertian Etika
Etika berasal dari perkataan yunani “ethes” berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan.
Dalam bahasa Latin dikenal dengan perkataan Mores yang berarti pula kesusilaan, tingkat salah satu perbuatan lahir, perilaku, tingkah laku. Perkataan Mores kemudian berubah menjadi mempunyai arti sama dengan etika atau sebaliknya. Etika disebut pula “moral phiciolophy” karena mempelajari moralitas dari perbuatan manusia. Sedangkan morality adalah apa yang baik atau apa yang buruk, benar atau salah dengan menggunakan ukuran norma atau nilai.
Moral terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat, tidak ada moral bila tidak ada masyarakat, dan ini berkaitan dengan kesadaran kolektif.
2. Pengertian Pemerintah
Government dari bahasa Inggris dan Gouvernment dari bahasa Perancis yang keduanya berasal dari bahasa Latin yaitu “Gubernaculum” yang memiliki arti kemudi, tetapi diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Pemerintah atau Pemerintahan dan terkadang juga menjadi Penguasa.
Pemerintah dalam arti sempit dimaksudkan khusus untuk kekuasan eksekutif sedangkan dalam arti luas adalah kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemerintah dalam arti sempit berdasarkan UUD yang pernah berlaku di Indonesia yaitu UUD 1945, UUDS 1950, dan UUD Konstitusi RIS 1949.
Pemerintahan dalam arti luas adalah segala kegiatan badan-badan publik yang meliputi kegiatan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam usaha mencapai tujuan negara. Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit yaitu segala kegiatan badan-badan publik yang hanya meliputi kekuasaan eksekutif (C.F.Strong).
3. Etika Pemerintah
Aparatur negara dan pemerintah memiliki tugas untuk mendidik rakyat. Mendidik orang lain berarti mendidik diri sendiri, oleh karena itu seorang pemimpin/pelaksana negara yang sadar akan kewajibannya sebagai pendidik, hendaknya berusaha agar:
·        Dalam hidup sehari-hari menjadi contoh teladan, panutan bagi umum dan kesusilaan.
·        Dalam usahanya sehari-hari selalu memperhatikan kemajuan lahir batin masyarakatnya.
Ajaran untuk berperilaku yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia disebut etika pemerintahan. Selain itu etika pemerintahan juga merupakan bagian dari praktek yurisprudensi atau filosofi hukum yang mengatur operasi dari pemerintah dan hubungannya dengan orang-orang dalam pemerintahan.
Prinsip-prinsip etika harus disesuaikan dengan keadaan, waktu, dan tempat. Prinsip-prinsip etika yang bersifat authority, yang bersifat perintah menjadi suatu peraturan sehingga kadang-kadang merupakan atribut yang tidak bisa dipisahkan. Dalam etika pemerintahan, apa yang dianjurkan merupakan paksaan (imperatif) yang dalam kehidupan sehari-hari dapat menimbulkan kesulitan.
Di atas telah diuraikan bahwa apa yang dilihat adalah authority misalnya, berpakaian dinas (PSH, PSR, PSL) sebenarnya merupakan masalah etika, tetapi kalau sudah dituangkan bukan lagi bersifat etis, melainkan bersifat pelaksanaan (operasional).
Kendatipun tidak ada sanksi yang tegas pada etika, karena mengikuti adanya perubahan-perubahan di dalam masyarakat, tergantung dengan kebutuhan (needs), kehendak masyarkat yang pada suatu waktu dan tempat dapat berubah-ubah. Etika digantungkan dengan authority, menghendaki orang harus tunduk pada perintah. Sedangkan pemerintah mempunyai sifat authority, sifat memaksakan.
Pemerintah tidaklah sama dengan masyarakat, disinilah letak sulitnya mempelajari etika pemerintahan. Pemerintah tidak dapat melaksanakan perintah sekehendaknya yang bertentangan dengan nilai etika masyarakat. Etika Dalam Fungsi Pemerintahan yaitu:
·      Etika Dalam Proses Kebijakan Publik (Public Policy Etic);
·      Etika dalam Pelayanan Publik (Public Service Etic);
·      Etika dalam Pengaturan dan Penataan Kelembagaan Pemerintahan (Rule and administer institutional etic);
·      Etika dalam Pembinaan dan pemberdayaan Masyarakat (Guide and social empowering etic);
·     Etika dalam Kemitraan antara pemerintahan, pemerintah dengan swasta, dan dengan masyarakat (Partnership governmental, private and sosiety etic).
Etika Pemerintah mencakup isu-isu kejujuran dan transparansi dalam pemerintahan, berurusan dengan hal-hal seperti:

 
Penyuapan
Suatu bentuk korupsi adalah tindakan memberikan hadiah yang dapat berupa uang, barang, properti, keutamaan, keistimewaan, honorarium, objek nilai, keuntungan, atau hanya janji untuk membujuk atau mempengaruhi tindakan, suara, atau pengaruh seseorang dalam resmi atau kapasitas publik.

 
Korupsi Politik
Korupsi politik adalah penggunaan kekuasaan diatur oleh pejabat pemerintah untuk keuntungan pribadi tidak sah. Penyalahgunaan pemerintah kekuasaan untuk tujuan lain, seperti represi lawan politik dan umum kebrutalan polisi, tidak dianggap korupsi politik. Baik tindakan ilegal oleh orang pribadi atau perusahaan tidak terlibat langsung dengan pemerintah.
Tindakan ilegal oleh sebuah officeholder merupakan korupsi politik hanya jika tindakan secara langsung berkaitan dengan tugas resmi mereka. Bentuk korupsi beragam termasuk penyuapan, pemerasan, kroniisme, nepotisme, patronase, korupsi, dan penggelapan. Sementara korupsi dapat memfasilitasi perusahaan kriminal seperti perdagangan narkoba, pencucian uang, dan perdagangan manusia, tidak terbatas pada kegiatan ini.

 
Korupsi Polisi
Korupsi Polisi adalah bentuk spesifik dari perilaku salah polisi yang dirancang untuk memperoleh keuntungan keuangan, keuntungan pribadi lainnya, dan/atau pengembangan karir bagi petugas polisi atau petugas dalam pertukaran untuk tidak mengejar, atau selektif mengejar, penyelidikan atau penangkapan. Salah satu bentuk umum dari korupsi polisi adalah meminta dan/atau menerima suap sebagai imbalan untuk tidak melaporkan obat terorganisir atau cincin prostitusi atau kegiatan ilegal lainnya. Contoh lain adalah polisi melanggar kode etik dalam rangka untuk mengamankan keyakinan tersangka, misalnya melalui penggunaan bukti yang dipalsukan.

 
Legislatif Etika / Kode Etik
Sebuah kode etik yang diadopsi oleh organisasi dalam upaya untuk membantu mereka dalam organisasi dipanggil untuk membuat keputusan memahami perbedaan antara 'benar' dan 'salah' dan menerapkan pemahaman ini untuk keputusan mereka. Kode etik karena itu umumnya berarti dokumen yang ada di tiga tingkat: 1) Etika bisnis perusahaan, 2) Etika karyawan, 3) Etika professional.

 
Peraturan Etika
Peraturan etika / Regulatory Etical adalah badan hukum dan praktis filsafat politik yang mengatur pelaksanaan pegawai negeri dan anggota lembaga regulator. Ini membahas isu-isu seperti penyuapan dan hubungan pegawai negeri dengan bisnis dalam industri mereka mengatur, serta kekhawatiran tentang transparansi, kebebasan informasi dan undang-undang, dan konflik kepentingan aturan.

 
Konflik Kepentingan
Suatu konflik kepentingan (COI) terjadi ketika sebuah individu atau organisasi yang terlibat dalam berbagai kepentingan, salah satunya mungkin korup motivasi untuk bertindak dalam lainnya. Suatu konflik kepentingan hanya bisa ada jika seseorang atau kesaksian yang dipercayakan dengan tidak memihak beberapa, sebuah jumlah sedikit kepercayaan diperlukan untuk menciptakannya. Kehadiran konflik kepentingan adalah independen dari eksekusi dari ketidakpantasan. Oleh karena itu, konflik kepentingan dapat ditemukan dan sukarela dijinakkan sebelum korupsi terjadi. COI kadang-kadang disebut persaingan kepentingan daripada "konflik", menekankan konotasi alam persaingan antara kepentingan sah daripada konflik kekerasan dengan konotasi yang menjadi korban dan agresi tidak adil. Namun demikian, denotatively , ada terlalu banyak tumpang tindih antara istilah untuk membuat diferensiasi objektif.

 
Menghindari Munculnya Ketidakpantasan
Munculnya ketidakpantasan adalah frase merujuk pada situasi yang etika dianggap dipertanyakan. Untuk seorang awam, tanpa pengetahuan tentang fakta-fakta tertentu, komentar atau tindakan tersebut muncul tidak pantas atau pelanggaran terhadap aturan atau regulasi.

 
Pemerintah Terbuka/Transparan
Pemerintahan yang transparan adalah mengatur doktrin yang memegang bahwa usaha dan negara administrasi pemerintah harus dibuka di semua tingkatan untuk efektif publik keterbukaan dan pengawasan. Dalam terluas konstruksi itu menentang alasan negara dan rasis pertimbangan, yang cenderung melegitimasi negara yang luas kerahasiaan.

 
Etika hukum
Etika hukum mencakup sebuah kode etik yang mengatur perilaku orang-orang yang terlibat dalam praktek hukum dan orang-orang lebih umum di sektor hukum.

KONDISI DI INDONESIA
Di Indonesia, hal tentang etika pemerintah pertama kali dipelopori oleh Walikota Solok Drs. H. Syamsu Rahim. Beliau membuat Perda tentang Etika Pemerintah di Solok, yaitu PERDA No. 1 Tahun 2008 tentang Etika Pemerintahan Daerah Kota Solok. Sedangkan untuk daerah lain bahkan Indonesia belum membuat peraturan khusus tentang etika pemerintah.
Menurut Ryaas Rasyid, pilar pemerintahan itu ada 3 (tiga) yaitu hukum, konstitusi dan etika. Rupanya setelah lebih setengah abad Indonesia merdeka, pilar terpenting dari pemerintahan yaitu etika belum ada dan ini hal yang sangat serius, karena di negara sebesar Amerika, Perancis Inggris dan negara-negara besar lainnya, justru kita melihat tidak ada Undang-undang anti korupsi, lembaga semacam KPK, TIPIKOR dan lain-lain, yang ada hanyalah undang-undang tentang etika penyelenggara negara dan nyatanya korupsi tidak membudaya ditengah-tengah mereka.
Undang-undang ini sangat efektif menangkal terjadinya tindak pidana korupsi, manipulatif dan tindakan asusila lainnya dari penyelenggara pemerintahan/negara. Fakta yang ada, meski produk-produk hukum telah demikian banyak dibuat, seminar-seminar tentang pemerintahan yang bersih dan berwibawa telah ratusan kali digelar, institusi penegak hukum dan lembaga pengawas telah berbagai corak dan ragam dibentuk, tetapi penyelenggara pemerintahan masih sering keluar masuk media pemberitaan karena korupsi, manipulasi dan perbuatan tak beretika lainnya.
Jika kita menonton televisi dan atau membaca berita kalau tidak ada “cerita” tentang korupsi, manipulasi dan bahkan yang trend sekarang adalah perbuatan tindak asusila oknum pejabat yang mengabadikan perbuatan mesumnya dengan perempuan-perempuan nakal. Contohnya saja seperti beberapa kasus yang terjadi di badan pemerintahan:
1. Korupsi
Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara, adalah US $ 24.8 juta. Para tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo.
2. Nepotisme
Busang adalah tambang emas terbesar di dunia, proyek Busang I diperkirakan mempunyai kandungan sekitar 47 juta ounces. Kalau 1 ounces itu besarnya sekitar 28.35 gram, artinya deposit Busang I itu saja nilainya mendekati Rp100 trilyun. Sudah ramai diberitakan bahwa perusahaan Kanada Bre-X Minerals, dikabarkan menggandeng putra Presiden RI, Sigit Harjojudanto untuk menggarap proyek raksasa itu. Tapi, akibat sengketa kepemilikan saham antara Bre-X dengan perusahaan lokal milik aktivis PDI Jusuf Merukh, maka kontrak karya (contracts of works) untuk Bre-X tak kunjung muncul dari Departemen Pertambangan dan Energi. Di lain pihak, ada konsorsium lain yang ingin juga menambang Busang. Konsorsium itu terdiri dari Siti Hardijanti Rukmana (putri Presiden Soeharto), Airlangga Hartarto (anak Menko Hartarto), dan I. B. Dharma Yoga (anak Menteri IB Sudjana). Bahkan, belakangan beredar kabar bahwa Departemen Pertambangan menyetujui konsorsium baru ini menggandeng perusahaan Kanada yang lebih senior, Barrick Gold Corp, dan memegang 75 persen saham Busang. Bre-X diberitakan hanya kebagian 25 persen. Itu pun, kedua pihak masih harus menyetorkan 10 persen untuk pemerintah Indonesia. Soal Busang ini sangat membuat curiga banyak kalangan setelah Menteri I. B. Sudjana mencopot kewenangan Dirjen Pertambangan Kuntoro Mangkusubroto untuk memberikan izin kontrak kerja (contracts of work) pada pertengahan November 1996 lalu. Di DPR, I. B. Sudjana menjelaskan bahwa usaha pemerintah untuk meminta 10 persen saham di Busang sudah merupakan langkah maju, meskipun sebuah sumber TEMPO Interaktif tak setuju dengan intervensi yang terlalu jauh model Sudjana ini. Kemudian, Sudjana juga mengungkapkan bahwa pihaknya akan meminta BUMN PT Aneka Tambang dan PT Timah untuk ikut memiliki saham di Busang. Dengan demikian, cerita pembagian saham di Busang agaknya belum final. Walaupun demikian, I. B. Sudjana tak menjelaskan mengapa anaknya ikut-ikutan bermain di Busang.
3. Kolusi
1)   Tindak kolusi antara PDIP dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom.
2)     Kasus kolusi antara Grup Bakrie dan pegawai Ditjen Pajak Gayus Tambunan.
4. Melanggar aturan
Tindakan melanggar aturan ini misalnya adalah tidak memenuhi kewajiban yang seharusnya, misalnya sekretaris Lurah Ciputat Syaiful Bahri bolos kerja hanya untuk mendukung kandidat walikota Ciputat yakni Airin. Bahkan ia dan beberapa PNS yang bolos lainnya menyogok wartawan dengan seekor kambing agar tidak memberitakan mereka di media massa.
5. Asusila
Kasus asusila penyanyi dangdut Maria Eva dan anggota Fraksi Partai Golkar DPR Yahya Zain seperti diberitakan, skandal seks Maria Eva dan Yahya Zaini terbongkar setelah beredar adegan asusila di masyarakat yang diduga dilakukan tahun 2004 lalu. Akibat skandal itu, Yahya terpaksa mengundurkan diri sebagai Ketua DPP Partai Golkar dan Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar DPR.
Maria Eva sempat mengaku melakukan aborsi janin hasil hubungan gelap dengan Yahya Zaini dengan persetujuan Yahya Zaini dan isterinya. Di tengah sorotan pemberitaan yang gencar, muncul kabar Yahya Zaini sempat diperas Rp5 miliar. Kasus ini sungguh menggelitik, yang seharusnya seorang wakil rakyat memberi contoh tetapi malah menjadi pembicaraan kurang baik di tengah masyarakat.
Etika pemerintahan di Indonesia belum benar-benar diterapkan dengan baik, ini disesabkan karena adanya patologi etika birokrasi pemerintahan. Patologi berupa hambatan atau penyakit dalam birokrasi pemerintahan sifatnya politis, ekonomis, sosio-kultural, dan teknologikal. Patologi birokrasi dalam etika pemerintahan berupa:
  • 1)     Patologi akibat persepsi, perilaku dan gaya manajerial berupa penyalahgunaan wewenang, statusquo, menerima sogok, takut perubahan dan inovasi, sombong menghindari keritik, nopoteisme, arogan, tidak adil, paranoia, otoriter, patronase, xenopobia dsb;
  • 2)     Patologi akibat pengetahuan dan keterampilan berupa: puas diri, tidak teliti, bertindak tanpa berpikir, counter produktif, tidak mau berkembang/belajar, pasif, kurang prakarsa/inisiatif, tidak produktif, stagnasi dsb.
  • 3)     Patologi karena tindakan melanggar hukum berupa: markup, menerima suap, tidak jujur, korupsi, penipuan, kriminal, sabotase, dsb.
  • 4)     Patologi akibat keprilakukan berupa: kesewenangan, pemaksaan, konspirasi, diskriminasi, tidak sopan, kerja legalistik, dramatisiasi, indisipliner, inersia, tidak berkeprimanusiaan, negatifisme, kepentingan sendiri, non profesional, vested interest, pemborosan dsb.
  • 5)     Patologi akibat sitasi internal berupa: tujuan dan sasaran tidak efektif dan efisien, kewajiban sebagai beban, eksploitasi, eksstrosi/pemerasan, pengangguran terselubung, kondisi kerja yang tidak nyaman, tidak adan kinerja, miskomunikasi dan informasi, spoil sisten, oper personil dsb.

Agar Etika Pemerintahan dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan pembaharuan perilaku etika penyelenggara pemerintahan dan kelembagaan birokrasi seperti:
  • Redifinisi, reorientasi dan revitalisasi perilaku birokrasi politik dan administrasi pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan negara, bangsa dan masyarakat;
  • Pembaharuan sistem kelembagaan pemerintahan yang berorientasi pada kinerja organisasi;
  • Pembaharuan manajemen pemerintahan yang memiliki kepemimpinan visoner dan akuntabilitas pemerintahan;
  • Perilaku individu Aparatur birokrasi Pemerintahan pada standar berkualifikasi, kompetensi dan profesional dan berbudaya;
  • Struktur kelembagaan birokrasi pemerintahan berbasis kompetensi;
  • Fungsi birokrasi pemerintahan (kebijakan, pelayanan, kemitraan, kerjasama, pemberdayaan dsb.);
  • Proses birokrasi pemerintahan dengan pendekatan manajemen strategis;
  • Perilaku birokrasi pemerintahan berorientasi nilai, norma, aturan, etika, moral, adat istiadat dan budaya birokrasi.

 

IV PENUTUP

Kesimpulan
Etika pemerintahan tidaklah berdiri sendiri, penegakannya terjalin erat dengan pelaksanaan prinsip penerapan hukum. Itulah sebabnya, maka sebuah pemerintahan yang bersih, yang segala tingkah laku dan produk kebijakannya berangkat dari komitmen moral yang kuat, hanya dapat dinikmati oleh refresentasi pemenuhan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat dengan lebih baik.
Setiap warga masyarakat berhak memperoleh pelayanan dan perlakuan yang adil dari aparatur pemerintah berdasarkan nilai-nilai etika dan hukum yang berlaku. Etika dalam pemerintahan sudah memiliki landasan tersendiri, namun di Indonesia kerap terjadi pelanggaran etika, baik di pemerintahan tingkat daerah sampai nasional.
Sebagai penanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan, fasilitator dan pengarah pembangunan, pelayan masyarakat dan sebagai motivator dalam pemberdayaan masyarakat, penulis melihat, merasakan dan mengalami betapa rumit dan susahnya kita membangun pemahaman, persepsi dan tindakan operasional yang sama dalam mengelola pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, padahal seperti tadi telah penulis sampaikan, sudah begitu banyak peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan untuk dijadikan pedoman dan petunjuk untuk itu.
Baik atau tidak baik jalannya roda pemerintahan, kegiatan pembangunan, pelayanan dan kegiatan pemberdayaan masyarakat ternyata tidak hanya tergantung pada pemerintah saja, tidak hanya tergantung pada DPRD saja dan juga tidak hanya tergantung pada masyarakat saja, tetapi sangat ditentukan oleh ketiga komponen tadi secara bersama-sama, apakah mempunyai komitment dan kemauan untuk menyelenggarakan kepemerintahan yang baik atau tidak.

Saran
Aparatur pemerintah seyogianya menjadikan dirinya sebagai teladan di dalam pelaksanaan etika, hukum dan konstitusi dengan kata lain, sudah bukan waktunya lagi, pemerintah dapat begitu saja mengambil hak milik orang lain tanpa kewenangan yang jelas dan disertai pemberian imbalan atau ganti rugi yang wajar.


Referensi:

Melihat Kasus e-KTP dari Sudut Pandang Etika Profesi Akuntansi

ilustrasi
The Corruption Eradication Commission (KPK) is set to reveal details behind alleged irregularities in the first court hearing in the electronic identity card (e-KTP) graft case on March 9 at the Jakarta Corruption Court.
“We will deliver the facts that indicate irregularities in the e-KTP case, starting from budgeting procedure up to the alleged flow of funds to parties that led to state losses,” KPK spokesman Febri Diansyah told The Jakarta Post on Sunday.
The KPK questioned around 200 witnesses, including several lawmakers, regarding the Rp 5.9 trillion (US$ 443 million) project, which caused Rp 2.3 trillion in state losses.
During the first hearing, the prosecutors will read out the indictments against two suspects, Home Ministry officials Irman and Sugiharto.
Febri added that in the investigation, 14 members of the House of Representatives had returned money allegedly used to bribe them in deliberation on the e-KTP project. 
“It is regulated in the 1999 Corruption Law but still we appreciate the cooperation [returning the money] and the information they gave investigators,” he said.
Big names will be mentioned during the trial as the KPK summoned House Speaker Setya Novanto and former home minister Gamawan Fauzi during its investigation. (rdi/rin)
Artikel diatas telah dimuat pada tautan berikut: http://www.thejakartapost.com/news/2017/03/05/e-ktp-case-goes-to-trial.html

Tidak dapat dipungkiri bahwasannya tindakan memperkaya diri sendiri di negara ini masih terlalu masif, kasus demi kasus terus mencuat di media massa memperlihatkan betapa memprihatinkannya kelakuan pejabat negara ini mengambil alih dan dengan seenaknya mengambil pendapatan negara kita yang tidak lain adalah uang hak masyarakat Indonesia. Ironisnya banyak dari kasus-kasus tersebut seperti tidak ada penyelesaiannya, beberapa dari mereka yang telah dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menang melawan hukum, entah bagaimana seperti ada kekuatan besar dibaliknya.
E-KTP sebuah proyek raksasa negara yang awalnya bertujuan mulia untuk mempermudah masyarakatnya dalam hal kependudukan, berubah menjadi borok besar Indonesia yang sangat menjijikan. Sebesar 2.3 trilliun rupiah uang rakyat jadi korban kerakusan pejabatnya yang seharusnya menjadi pengabdi bagi negara.
Kasus ini berawal pada februari 2010 saat penganggaran proyek E-KTP, bermula dari usulan Menter Dalam Negeri untuk mengubah sumber pembiayaan proyek yang semula dari pinjaman hibah luar negeri menjadi sumber bersumber pada anggaran rupiah murni pada 2009, setelah rapat pembahasan anggaran Kemendagri, Ketua Komisi II DPR Burhanudin Napitupulu meminta uang kepada Irman selaku Ducapil Kemendagri agar usulan proyek e-ktp segera disetujui oleh Komisi II, yang kemudian disetujui sepekan setelahnya.
Dalam kasus ini banyak jenis pelanggaran yang terjadi seperti penyalahgunaan wewenang, mark up harga, dan suap. Dan karena cakupannya yang luas, saya hanya menanggapi kasus ini dari sudut pandang akuntansi. Hal yang akan saya tekankan adalah bagaimana sebuah lembaga pemerintahan dapat melakukan praktek mark up harga, dan pejabat didalamnya melakuakan penyalahgunaan wewenang.
Dari kasus ini beberapa prinsip dasar akuntansi yang dilanggar adalah sebagai berikut:
a. Tanggung jawab profesi
Dalam melaksanakan tugasnya seorang profesional harus menggunakan perimbangan moral dalam setiap kegiatannya. Dalam kasus ini jelas bahwa tanggung jawab itu hilang, mereka tidak memakai nurani dan moral hingga timbul korupsi.
b. Kepentingan publik
Kepentingan utama profesi akuntan di pemerintahan adalah bagaimana publik dapat terpuaskan dengan kinerja yang mereka buat, bukan sebaliknya mementingkan diri sendiri.
c. Integritas
Integritas mengharuskan seseorang untuk antara lain bersikap jujur dan berterus terang tanpa dikalahkan oleh keuntungan pribadi, dalam kasus ini sudh jelas bahwa integritas mereka terhadap rakyat dipertanyakan.
d. Objektivitas
e. Kompetensi dan kehati-hatian profesional
f. Kerahasiaan
g. Perilaku Profesional
H. Standar teknis
Dalam menganggarkan suatu proyek tentu terdapat standar yang harus diikuti, semuanya tertuang dalam UU yang diatur setiap tahunnya. Proyek ini jelas tidak mengindahkan aturan tersebut dengan secara frontal mengubah pendanaan proyek menjadi dibiayai anggaran rupiah murni pada tahun 2009.

Solusi:
Kasus ini merupakan sebuah tamparan keras bagi Kementerian Dalam Negeri dan pemerintahan pada umumnya, publik dapat menilai bahwa proses penganggaran masih sangat rentan dipolitisasi dan dikorupsi. Dua hal utama yang mungkin dapat menjadi solusi menghilangkan praktik ini adalah dengan keterbukaan dan perbaikan pembahasan anggaran yang lebih teliti.
Pertama adalah keterbukaan, akuntabilitas, lalu perbaikan didalam kemampuan pemerintah untuk menciptakan kepastian dari sisi yang disebut unit cost. Unit Cost atau biaya satuan mengacu pada biaya yang dihitung dengan cara membagi biaya keseluruhan dengan jumlah atau kualitas output. Dengan begitu resiko terjadinya potensi mark up dapat diminimalisasi.
Selain kedua hal tersebut, pengawasan adalah hal paling diperlukan dalam mengiringi proses penganggaran. Pengawasan ini utamanya dilakukan oleh lembaga hukum, KPK adalah ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia, namun belakangan karena tidak karuannya UU yang mengatur awal berdirnya KPK, lembaga ini telah dilemahkan oleh berbagai pihak.
Pengawasan yang kedua adalah langsung oleh masyarkat utamanya oleh mahasiswa, penganggaran seyoganya perlu di publikasi dan dipelajari oleh masyarakat, dari mana dan untuk apa pajak kita digunakan.
Profesional dalam hal ini adalah akuntan harus juga dapat mengawasi berjalannya proses anggaran, mereka lebih tahu apa yang salah dan apa yang harus dilakukan dalam proses penganggara.
Namun hal yang paling dasar adalah mengubah hati dan pikiran kita sebagai masyarakat Indonesia untuk lebih peduli dan tidak mementingkan keuntungan pribadi, karena Tuhan punya alasan menempatkan kita dalam satu planet. Tuhan ingin kita punya jiwa sosial yang tinggi, yang sadar bahwa hidup kita hanya sementara dan menjadi bermanfaat bagi sesama manusia adalah satu-satunya hal yang harus kita tuju selain kesempurnaan ibadah kita kepada Tuhan secara personal.


Konklusi:
Usaha untuk mempermudah dan mempercanggih pendataan penduduk dengan program e-ktp harus terganjal dengan adanya praktik korupsi. Anggaran proyek yang sebesar Rp.5,9 trilliun dikorupsi hingga 40% nya atau sebesar Rp2,3 trilliun, anggaran yang dikembalikan sebesar Rp.250 milyar terdiri dari Rp220 milyar oleh pihak korporasi (5 korporasi dan 1 konsorium) serta Rp30 milyar dari perorangan (14 orang).
Pihak yang terlibat dalam proyek masif ini begitu banyak dan dari berbagai elemen mulai dari pejabat pemerintahan, pengusaha, hingga politisi, termasuk didalamnya pihak pemenang tender proyek.
Hingga saat ini proses hukum kasus ini terus bergulir dan terus memunculkan nama-nama baru yang diumumkan oleh KPK, bahkan hingga penulis memposting artikel ini adu kekuatan antara tersangka dan KPK terus menjadi polemik yang mewarnai media massa di Indonesia.

Semoga untuk kedepannya dengan mempraktikan etika profesi akuntansi maka pemerintahan kita dapat bersih dan maksimal dalam melayani rakyatnya dan adil bagi mereka sebagai orang yang diperas otaknya *ueeekk untuk kesejahteraan berbangsa dan bernegara.

Differences TOEFL, IELTS, and TOEIC And What Is TEFL


There are all sorts Program English test to measure the ability Someone review in English hearts. The test program is known in Indonesia Namely TOEFL, IELTS, and TOEIC. These three kinds of tests was taken to review different Purposes like to review a get scholarships to study abroad, working abroad, prayer of terms sign College. In fact, some of the Company and Government Agencies Start It requires the applicant to have the certification to review English with Values ​​That has been determined. Well, three different kinds of tests what is that?

TOEFL
TOEFL stands for Test Of English as a Foreign Language That test of English as a Foreign Language. Used to review TOEFL measures the ability Someone in English. The TOEFL is intended For those going to school in all-state British-American, such as US. There are three kinds of chose tests:
  1. PBT (Paper Based Test), you do the TOEFL test in the papers. Test material usually includes listening, reading, and structure.
  2. CBT (computer based test), you do the TOEFL test in Computer. Test material usually includes listening, reading, and writing structure.
  3. IBT (Internet Based Test), you do the TOEFL test in computer connected to the Internet. Test material usually includes listening, reading, structure, writing and speaking.
TOEFL score Valid for 2 years. IF Through From 2 Years, Again you have to take the TOEFL test. For a review can apply for scholarships to study abroad, TOEFL score minimal Should you 550 (PBT).

IELTS
IELTS (International English Language Testing System) is the test program to test proficiency in English. IELTS usually used for visa abroad, study/school to countries English-British (such as the UK and Australia), moved citizenship, etc.
There are two versions of the IELTS: Academic Version (academic version) and the General Training Version (general training):
  • Their intended academic version that will go to college and professionals such as doctors or nurses to work in countries that use the British English.
  • General training version is intended they will work or immigration purposes (such as moving citizenship).
IELTS test materials there are four:
1) listening (30 minutes),
2) reading (1 hour),
3) writing (1 hour), and
4) Speaking (12-15 minutes).
Overall, the IELTS test takes about 3 hours.
IELTS test score range is: 1 - 9. If it will be used for school purposes to UK Australia, Canada, New Zealand, the required IELTS score is 5.5 and above.

TOEIC
TOEIC stands for Test of English for International Communication, namely Britain language test for international communication. TOEIC is more specifically intended job orientation. If you wish to work abroad or foreign company in Indonesia, then you must have the TOEIC certification.
TOEIC test materials only listening and reading. Type of TOEIC questions usually leads to your business, and the TOEIC scores range is 10-990.
Here's a comparison of scores between TOEIC, TOEFL and IELTS:
 So that you can work abroad, try your TOEIC score over 450.

TEFL
Teaching English as a Foreign Language (TEFL) refers to teaching the English language to students with different first languages. TEFL can occur either within the state school system or more privately, at a language school or with a tutor. TEFL can also take place in an English speaking country for people who have immigrated there (either temporarily for school or work, or permanently). TEFL teachers may be native or non-native speakers of English. Other acronyms for TEFL are TESL (Teaching English as a Second Language), TESOL (Teaching English as a Second or Other Language), and ESL (English as a second language, a term typically used in English-speaking countries, and more often referring to the learning than the teaching).
Teaching techniques
Reading
TEFL that uses literature aimed at children and teenagers is rising in popularity. Youth-oriented literature offers simpler material ("simplified readers" are produced by major publishers), and often provides a more conversational style than literature for adults. Children's literature in particular sometimes provides subtle cues to pronunciation, through rhyming and other word play. One method for using these books is the multiple-pass technique. The instructor reads the book, pausing often to explain certain words and concepts. On the second pass, the instructor reads the book completely through without stopping. Textbooks contain a variety of literature like poetry, stories, essays, plays etc. through which certain linguistic items are taught.
Reading aloud to students who are learning English as a foreign language is a highly effective strategy to assist them in learning the basic rules and understandings of the process of reading. When teachers read aloud to their students, they simply model fluency and comprehension, while also adding visual support, periodic paraphrasing, and extension. When choosing an appropriate text for the student, both the vocabulary and concepts of the text that may be new to the student need to be considered. To make sure they get definite understanding of the text, engaging the students during reading will assist them with making connections between what is being read and the new vocabulary.
Communicative language teaching
Communicative language teaching (CLT) emphasizes interaction as both the means and the ultimate goal of learning a language. Despite a number of criticisms, it continues to be popular, particularly in Japan, Taiwan, and Europe. In India CBSE ( Central Board of Secondary Education) has adopted this approach in its affiliated schools.
The task-based language learning approach to CLT has gained ground in recent years. Proponents believe CLT is important for developing and improving speaking, writing, listening, and reading skills, and that it prevents students' merely listening passively to the teacher without interaction. Dogme is a similar communicative approach that encourages teaching without published textbooks, instead focusing on conversational communication among the learners and the teacher.
Blended learning
Blended learning is a combination of face-to-face teaching and online interactions (also known as computer-assisted language learning), achieved through a virtual learning environment (VLE).
VLEs have been a major growth point in the English Language Teaching (ELT) industry over the last five years. There are two types:
Externally hosted platforms that a school or institution exports content to (e.g., the proprietary Web Course Tools, or the open source Moodle)
Content-supplied, course-managed learning platforms (e.g. the Macmillan English Campus)
The former provides pre-designed structures and tools, while the latter supports course-building by the language school teachers can blend existing courses with games, activities, listening exercises, and grammar reference units contained online. This supports classroom, self-study or remote practice (for example in an internet café). Kendriya Vidyalaya Sangathan in India has launched a web portal ECTLT where learners can learn English and other subject online and interact with their own teachers of KVS across the country.
Online classroom
Advances in technology have made it possible to get a TEFL qualification online. Students can enroll in online classes that are accredited by organizations such as the British Council or Cambridge ESOL. It should be noted that there is no single overarching accreditation body for TEFL however private for profit tefl companies have been known to invent accreditation affiliates and use them to cheat the customer. Study materials are divided into modules. Students take one or multiple tests per study module. Support is handled by tutors, who can be reached via email. After successfully finishing the last module the student is granted a certificate. It comes in digital form or can be shipped to the student's address. Getting such a certificate can be beneficial in many ways. The student can get a bigger paycheck or teach English in foreign countries.
Qualifications for TEFL teachers
Qualification requirements vary considerably from country to country and among employers within the same country. In many institutions it is possible to teach without a degree or teaching certificate. Some institutions will consider it necessary to be a native speaker with an MA TESOL. A university degree in English language and literature can also be of value, as indeed can any specialist degree. Other institutions consider a proof of English proficiency, a University degree and a basic teaching qualification to be more than sufficient. However, the level of academic qualification need not be the most important qualification, as many schools will be more interested in your interpersonal skills. For trainers wishing to enter the academic field, publications can be as important as qualifications, especially if they relate to English use in your field. Where there is a high demand for teachers and no statutory requirements, employers may accept otherwise unqualified candidates. Each country is different, and acceptance depends on demand for English teachers and the teacher's previous teaching and life experiences.
As a general rule, schools will tend to prefer qualifications that involve a significant amount of assessed teaching: it is often said that "Learning to teach without classroom practice is like learning to drive without ever encountering traffic". Shorter courses and online courses often lack assessed teaching practice. Course makers have recognized this and have begun introducing combined TEFL courses which have an element of assessed teaching.
Some educational facilities are now offering two or three well-defined certificates instead of one general certificate. For example, Introduction to Language Teaching - 40 hours, Practice of Language Training - 30 hours, and Literacy - 30 hours.
Private language schools are likely to require at least a certificate based on successful completion of a course consisting of a minimum of 100 hours. Major programs like EPIK will offer a higher salary to teachers who have completed any TEFL Course, online or otherwise, so long as the program meets the minimum 100-hour requirement. Internet-based TEFL courses are generally accepted worldwide, and particularly in Asia, where the largest jobs markets exist in China, Korea, Taiwan and Japan.
In Asia there has also been a tendency to hire TEFL teachers on superficial criteria, such as race (with Caucasians preferred) on the assumption that an English teacher, or native English speaker should be 'white', this is proven especially true in a Thailand, a big employer of TEFL teachers, with adverts frequently calling explicitly for native-English speakers. Partly this is driven by commercial expectations in the private sector, where parents feel that paying extra fees for TEFL teacher should warrant an American or British TEFL teacher, the schools will not risk losing students over this.
Age/gender requirements might also be encountered. In some countries outside Europe and America, for example the Middle East, schools might hire men over women or vice versa. And they might hire only teachers in a certain age range; usually between 20 and 40 years of age. Anyone under 19 may be able to teach TEFL, but usually only in a volunteer situation, such as a refugee camp.