Materi
4
Pengelolaan
Sumber daya Alam Indonesia
Realita
hidup dan kehidupan manusia tidak terlepas dari alam dan lingkungannya, karena
hal tersebut merupakan hubungan mutualisme dalam tatanan keseimbangan alam dan kehidupannya
(Balancing Ecosystem). Sumber daya alam terbagi dua, yaitu SDA yang tidak dapat
diperbaharui (unrenewable) dan yang dapat diperbaharui (renewable).
Keanekaragaman hayati termasuk didalam sumber daya alam yang dapat
diperbaharui. Potensi sumber daya alam hayati tersebut bervariasi, tergantung
dari letak suatu kawasan dan kondisinya. Pengertian istilah sumber daya alam
hayati cukup luas, yakni mencakup sumber daya alam hayati, tumbuhan, hewan,
bentang alam (landscape). Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya alam
hayati yang berlimpah ruah sehingga dikenal sebagai negara MEGABIODIVERSITY.
Keanekaragaman hayatinya terbanyak kedua diseluruh dunia.
Wilayah
hutan tropisnya terluas ketiga di dunia dengan cadangan minyak, gas alam, emas,
tembaga dan mineral lainnya. Terumbu karang dan kehidupan laut memperkaya
ke-17.000 pulaunya. Lebih dari itu, Indoensia memiliki tanah dan dan area
lautan yang luas, dan kaya dengan berjenis-jenis ekologi. Menempati hampir 1.3
persen dari wilayah bumi, mempunyai kira-kira 10 persen jenis tanaman dan bunga
yang ada di dunia, 12 persen jenis binatang menyusui, 17 persen jenis burung,
25 persen jenis ikan, dan 10 persen sisa area hutang tropis, yang kedua setelah
Brazil (world Bank 1994). Walaupun demikian persoalan tentang pengelolaan
sumber daya alam hanya mendapat perhatian sedikit dari para pengambil
kebijakan.
Kepulauan
Indonesia yang terdiri atas 17,000 pulau, merupakan tempat tinggal bagi flora
dan fauna dari dua tipe yang berbeda asal usulnya. Bagian barat merupakan
kawasan Indo-Malayan, sedang bagian timur termasuk kawasan Pacifik dan
Australia. Meski daratannya hanya mencakup 1,3 persen dari seluruh daratan di
bumi, Indonesia memiliki hidupan liar flora dan fauna yang spektakuler dan
unik. Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati yang mengagumkan: sepuluh
persen dari spesies berbunga yang ada didunia, 12 persen dari spesies mamalia
dunia, 16 persen dari seluruh spesies reptil dan amphibi, 17 persen dari
seluruh spesies burung, dan 25 persen dari semua spesies ikan yang sudah
dikenal manusia.
4.2 Kebijakan Sumber Daya Alam
Struktur
Penguasaan Sumber Daya Alam
Pengelolaan
sumberdaya alam adalah perkara yang sangat serius dan berkesinambungan tentang
manajemen dan kebijaksanaan. Degradasi penglolaan sumberdaya alam lebih banyak
disebabkan oleh kelalaian manusia dalam mengikuti dan menerapkan kaidah-kaidah
Syariat, serta keberanian manusia dalam melawan kaidah-kaidah tsb dalam
kehidupan sehari-hari.
Berbagai
persoalan krusial sebagai implikasi yang timbul dari tidak diterapkannya aturan
yang benar yang mengatur tentang Pengelolaan sumberdaya alam, sangat kita
rasakan akibatnya hingga kini. Permasalahan berpangkal dari tidak tegaknya
aturan main regulasi penerapan dan mekanisme pengelolaan sumberdaya alam
sebagai syarat utama bekerjanya system aturan pengelolaan sumbedaya alam.
Eksploitasi
terhadap hutan, bahan tambang, migas, perampasan tanah (landgrabing) dan
sumberdaya alam lainnya telah menyebabkan kerusakan pada air, tanah dan udara
yang berakibat pada bencana ekologis dan
tersingkirnya rakyat dari sumber-sumber kehidupan.
Untuk
itu upaya-upaya pemulihan perlu segera dilakukan secara menyeluruh yang
mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada waktu lagi dan tidak ada pilihan
lain, selain memulihkan Indonesia. Agar tujuan bernegara dan berbangsa
sebagaimana yang termaktub dalam Proklamasi kemerdekaan dan UUD 1945 dapat
segera terwujud.
Kebijakan
ekonomi politik yang eksploitatif di mana telah terjadi ketimpangan penguasaan
agraria yang sangat mencolok ini, telah menyebabkan kehancuran ekologis di
hampir setiap jengkal tanah di Indonesia. Kehancuran ekologis semakin besar
terjadi karena bersekutunya elit kuasa negeri dengan para kuasa modal.
Sementara risiko kerusakan lingkungan dan hilangnya aset-aset untuk
keberlangsungan hidup dipikul oleh rakyat. Elit kuasa dan pemilik modal
memiliki kekerabatan yang erat dengan kerusakan dan kehancuran sistem ekologis.
Setelah sumberdaya air, sumberdaya pangan kini dalam proses privatisasi. Swasta
dan asing akan secara legal melakukan perampasan lahan (land grabing). Risiko
dan harga kehancuran lingkungan tidak dihitung bahkan diabaikan dalam setiap
investasi dan proyek utang. Pada gilirannya saat kondisi lingkungan rusak dan
tercemar, proyek pemulihan lingkungan kembali didesakan melalui dana utang (kasus
waduk dan perubahan iklim).
Kehancuran
lingkungan sudah merata sebarannya di Indonesia. Wujud paling mudah untuk
dikenali adalah berbagai bencana ekologis yang terjadi setiap hari di seluruh
nusantara, sambung menyambung tanpa jeda. Kondisi ini diperparah dengan situasi
geografis Indonesia yang berada di kawasan rentan bencana dan ancaman perubahan
iklim.
Dalam
kerangka penyelamatan Indonesia inilah gerakan lingkungan hidup mengambil
inisiatif mengajak para pihak untuk terlibat dalam Gerakan Pemulihan Indonesia.
Gerakan ini adalah upaya pembalikan krisis multidimensi yang menjangkiti
Indonesia. Memperbaiki tata kehidupan berbangsa secara utuh, mewujudkan
keadilan ekologis dengan cara populer dan semangat progresif.
Dalam
kurun waktu 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632 bencana (BNPB, 2010).
Sehingga dapat diartikan setiap harinya muncul satu bencana dan setiap satu
minggu terjadi 10 kali bencana yang terdiri dari Banjir, kekeringan, longsor,
badai dan kebakaran.
Kondisi ini di sebut WALHI sebagai “Darurat Ekologis Indonesia”.
Proses
penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat telah mengakibatkan terjadinya
krisis multidimensi. Krisis politik, krisis ekonomi, krisis sosial-budaya dan
krisis ekologi lahir dari proses demokrasi yang telah dibajak oleh kepentingan
elit yang menghamba pada kuasa modal. Krisis ekologi yang terjadi karena
negara, pemodal dan sistem pengetahuan modern telah mereduksi alam menjadi
onggokan komoditi yang bisa direkayasa dan dieksploitasi untuk memperoleh
keuntungan ekonomi jangka pendek sehingga pada gilirannya berbagai bencana
lingkungan seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir, kekeringan, pencemaran,
dan krisis air telah menjadi bencana yang diderita rakyat dari tahun ke tahun
(WALHI, 2004).
Kondisi
semacam ini secara langsung menjadi penyebab dari kemiskinan rakyat serta
hilangnya kedaulatan dan keadilan. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah
2004-2009 menyebutkan, bahwa masyarakat miskin di Indonesia sangat rentan
terhadap perubahan pola pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Penyebab utamanya adalah akses yang terbatas terhadap SDA sebagai sumber mata
pencaharian dan penunjang kehidupan sehari-hari. Hal ini diperburuk dengan
menurunnya mutu Lingkungan Hidup yang membuat masyarakat rentan jatuh ke bawah
garis kemiskinan dan masyarakat miskin semakin rentan untuk lebih terpuruk.
Meskipun sangat disayangkan tidak disebutkan peran kuasa modal di dalamnya,
yang menjadi penyebab dari adanya ketimpangan akses dan pemanfaatan Sumber Daya
Alam di tengah masyarakat.
Masalah
akses dan pemanfaatan terhadap Sumber Daya Alam menjadi isu penting dalam
kaitannya dengan hak menentukan nasib sendiri terkait dengan pemanfaatannya
yang berada dalam teritori suatu bangsa. Artinya, setiap bangsa harus secara
bebas menguasai kekayaan alam dan sumber dayanya. Secara yuridis, jaminan suatu
negara atas kedaulatan sumber daya alam
telah diatur dalam instrumen hukum internasional. Ruang lingkup pengaturannya
tidak terbatas hanya pada penguasaan atas sumber daya alam semata, namun meluas
terbangunannya tatanan ekonomi internasional
yang berkeadilan dan berkesetaraan.
1.
Sektor Kehutanan
Dalam
sepuluh tahun terakhir terjadi degradasi hutan mencapai lebih dari 2 juta
hektar per tahun, lebih cepat dibanding era tahun 1980-an dengan tingkat
degradasi 1 juta per tahun. Sampai tahun 2007, terdapat 322 izin Hak
Pengelolaan Hutan (HPH) dengan luas 2,78 juta hektar. Sementara, 266 izin HTI
dengan luas 10 juta hektar, hanya 3,4 juta hektar yang ditanami, sedangkan
sisanya ditelantarkan. Penebangan komersil secara ekspansif untuk konversi
hutan menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar yang luasnya mencapai 20 juta
hektar lebih, sementara yang sudah ditanami seluas 7,8 juta hektar, ditambah
dengan kawasan pertambangan yang juga mengkonversi hutan sehingga semakin
didegradasikannya kawasan hutan Indonesia.
Kawasan
hutan lindung pun terus mengalami penciutan. Tahun 2004, luas kawasan hutan
lindung Indonesia mencapai 55,2 juta hektar. Fakta terkini, Indonesia tinggal
memiliki kawasan hutan lindung seluas 39 juta hektar (2009). Terjadi penciutan
kawasan hutan lindung seluas 29 % dalam 5 tahun terakhir. Adapun kawasan hutan lindung yang terancam
ditambang sejumlah 11,4 juta hektar. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan
pemerintah mengakomodir investasi yang mengorbankan hutan, seperti pertambangan
dan perkebunan kelapa sawit. Aturan tersebut diantaranya PP No 2 Tahun 2008
tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan
Hutang untuk Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan.
2.
Sektor Pertambangan
Luas
keseluruhan area kontrak karya mineral dan batubara telah mencapai lebih dari
44 juta hektar atau mencapai 44 % luas hutan Indonesia. Penting untuk
diketahui, sebagian besar lokasi kontrak mineral dan batubara umumnya berada di
kawasan hutan. Luas area yang diserahkan
pemerintah melalui skema-skema kontrak pertambangan tersebut mencapai 23 % dari
luas daratan Indonesia.
Luas Kontrak Mineral
dan Batubara di Indonesia sampai dengan Tahun 2005
Jenis Kontrak
|
Luas (Ha)
|
KK Mineral
|
6.465.276,00
|
KP Mineral
|
7.670.337,51
|
KP Batubara
|
24.769.361,00
|
KKB / PKP2B
|
5.200.026,00
|
Jumlah
|
44.105.000,51
|
Sumber: Data Hasil
Olahan dari Berbagai (Sumber, Jatam, ESDM, Tahun 2006)
Ekspansi
wilayah tambang ini terus dimungkinkan dengan Undang-undang No. 4 tahun 2009
tentang Mineral dan Batu Bara. Kendati Undang-undang tersebut menyebutkan luas
wilayah pertambangan mineral pada masa produksi seluas 25.000 hektar dan 10.000
hektar untuk batu bara, lebih kecil dari luas wilayah kontrak pertambangan yang
ada seperti KP Batu Bara seluas 100.000 hektar. Namun tidak ada ketegasan
membatasi jumlah ijin bagi satu perusahaan atau berbagai perusahaan di setiap
wilayah kawasan yang hendak ditambang.
Celakanya,
berdasarkan pasal 162 UU No 4 Tahun 2009, rakyat berpeluang dikriminalisasi
oleh negara mana kala mereka mempertahankan kawasan hidup mereka dengan memilih
sumber penghidupan selain tambang. Sementara itu, disaat ruang kelola mereka
hendak dijadikan kawasan tambang oleh pemerintah, posisi rakyat berada pada
posisi yang lemah, karena penentuan kawasan tambang cukup hanya dikonsultasikan
ke rakyat. Dan rakyat bukan sebagai penentu.
3.
Sektor Migas
Lebih
dari 95 juta hektar konsesi migas dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa
luar negeri. Sebanyak 85 persen produksi migas nasional dikendalikan oleh
perusahaan swasta asing. Keseluruhan kegiatan eksploitasi migas, murni untuk
mengejar keuntungan semata dan mengabaikan kelestarian alam.
Lahirnya
UU No 22/2001 tentang minyak dan gas bumi menegaskan kedudukan usaha di bidang
ekploitasi dan perdagangan migas sebagai usaha untuk mengejar keuntungan. Lebih
dari 1.314 perusahaan terlibat dalam kegiatan bisnis migas. Sebanyak 100
perusahaan menguasai kegiatan produksi di hulu. Umumnya, perusahaan tersebut
adalah perusahaan asing, sisanya adalah pertamina dan perusahaan kecil-kecil
yang bekerja sebagai sub-kontraktor asing dan pedagang ritel BBM.
Penentuan
harga minyak sesuai dengan mekanisme pasar membuat harganya fluktuatif dan
cenderung meninggi, menciptakan
ketidakadilan atas akses energi. Keuntungan besar yang didapatkan oleh
perusahaan migas diinvestasikan kembali secara mayoritas di sektor energi
fossil, bukannya di energi terbarukan, kian memperparah kondisi perubahan
iklim. Sementara itu, rakyat di daerah dan jalur produksi migas secara langsung
dan kuat terus menerus menderita dari dampak lingkungan yang terjadi,
sebagaimana dialami penurunan tangkapan ikan nelayan di perairan Kabupaten
Indramayu.
Di
samping itu, skema kontrak kerjasama Production Sharing Contract (PSC),
perusahaan migas tidak menanggung biaya atas investasi yang mereka tanamkan,
karena seluruh biaya ekplorasi, produksi dan penjualan migas ditanggung oleh
negara melalui cost recovery. Hal inilah yang menyebabkan investasi atau
penanaman modal di sector migas praktis mengalami peningkatan. Kendati produksi
migas tidak mengalami peningkatan, biaya cost recovery yang dikeluarkan
pemerintah untuk perusahaan-perusahaan sub kontraktor termasuk Pertamina
membengkak dalam 5 tahun terakhir.
4.
Sektor kelautan
Sekitar
147 juta orang saat ini tinggal dikawasan pesisir Indonesia, termasuk 20 juta
nelayan di dalamnya, hidup dalam kondisi terancam kekurangan pangan dan bencana
ekologis akibat ketiadaan perhatian pemerintah atas nasib mereka, serta kebijakan
pembangunan yang bias darat.
Kawasan
pantai dan pesisir juga makin rentan gelombang tsunami, salinitas dan naiknya
muka laut, sejak diserbu proyek reklamasi pembangunan kawasan industri,
perniagaan, dan permukiman mewah. Hal ini berakibat kerusakan dan berkurangnya
hutan mangrove. Maraknya aktivitas konversi hutan mangrove untuk kegiatan
industri pertambakan dan reklamasi pantai yang terjadi secara terus menerus
dalam 25 tahun terakhir, menjadikan kurang dari 1,9 juta hektar kawasan
tersisa. Dari empat proyek reklamasi pantai di Padang, Sumatera Barat, Jakarta,
Makassar dan Manado, telah lebih dari 5 ribu hektar area ekosistem mangrove,
lamun, maupun terumbu karang terancam. Kini, lebih dari 10 proyek reklamasi
pantai secara masif terjadi di Indonesia.
Dalam
15 tahun terakhir, pesisir dan laut Indonesia telah menjadi praktik pencurian
ikan oleh 10 negara. Mereka adalah Thailand, Fhilipina, Taiwan, Korea, Panama,
China, Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Myanmar. Pencurian tersebut melenyapkan
sekitar 30-50 persen total potensi perikanan tangkap nasional setiap tahun.
Sekitar
90 persen produksi udang kita memasok kebutuhan asing, 37 persen untuk Amerika
Serikat, 27 persen untuk Jepang, 15 persen untuk Eropa.
Sementara
itu, pertambakan juga dimonopoli asing. Di Lampung, sekitar 60 persen laha
produktif pertambakan dikuasai satu perusahaan multinasional Charon Phokpand,
yang juga menguasai 50 persen total ekspor udang nasional. Sejak awal,
pembangunan pertambakan (aquaqulture) di Indonesia melibatkan utang Asia
Development Bank (ADB) dan Bank Dunia. Jika dirata-rata, kontribusi utang luar
negeri di sektor ini mencapai Rp 39,5 miliar per tahun, sejak 1983-2013
mendatang.
Kegiatan-kegiatan
ekstraksi di darat juga penyebab krisis
laut, salah satunya penambangan logam, batubara dan migas. Tak hanya membawa
hasil sedimentasi ke muara industri tambang juga membuang limbah beracunnya
langsung ke laut, sehingga berdampak pada kehidupan nelayan.
Dari
dua tambang Amerika Serikat saja, PT Newmont dan PT Freeport membuang 340 ribu
ton tailing setiap harinya. Demikian halnya buangan limbah pengeboran dan
pengangkutan minyak bumi ilegal. Di perairan Taman Nasional Laut Kepulauan
Seribu, Propinsi DKI Jakarta, hampir setiap tahun di temukan tumpahan minyak
mentah (tarball). Hal yang sama terjadi di teluk Balikpapan, Kalimanatan Timur
dan Indramayu, Jawa Barat. Eksploitasi minyak dan gas menggunakan dinamit yang
diledakan di kedalaman laut Teluk Balikpapan, berakibat kematian massal ikan
dan rusaknya terumbu karang di perairan tersebut.
Secara
utuh, situasi di atas akan memperparah krisis pangan nasional. Jika tidak
dihentikan, sebelum 2015, Indonesia akan krisis ikan. Gejala krisis telah
dirasakan dari hilangnya sejumlah jenis ikan konsumsi lokal di pasar-pasar
tradisional, menurunya tanggapan nelayan, serta tingginya konflik perikanan,di
picu perbuatan sumberdaya perikanan yang makin terbatas. Bahkan, tergantung
pasokan ikan negara lain, yang jumlahnya terus membengkak setiap tahun, dengan
rata-rata pertumbuhan sekitar 23,34 persen per tahun. Dan, terus meningkat hingga 30 persen.
Isu
penting yang terus mengemuka dan jadi perdebatan adalah terkait dilegalkannya
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PPK), dalam prakteknya akan
mendorong adanya privatisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; mendorong
kaum pemodal mengambil alih wilayah kelola, meniadakan akses dan kontrol rakyat
atas wilayah pesisir dan laut selama 60 tahun akumulatif. Dengan UU ini
pemerintah secara jelas menyerahkan urusan pengelolaan sumber daya kelautan dan
pesisir kepada kaum pemodal, dengan melepaskan tanggung jawabnya sebagai
pengurus negara yang melindungi hak seluruh rakyatnya. Walaupun pada akhirnya pasal-pasal terkait
hal tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2011 melalui
yudisial review yang diajukan oleh kalangan masyarakat sipil, namun prakteknya
di lapangan masih tidak mencerminkan keberpihakannya pada rakyat dan pemulihan
lingkungan.
5.
Perubahan Iklim
Dalam
kebijakan terkait perubahan iklim, pemerintahan belum melakukan tindakan nyata
untuk mengatasi perubahan iklim, di tingkat nasional dan internasional. Di
tingkat nasional, melalui pembukaan lahan gambut dan perkebunan sawit yang
sempat dijadikan ikon energi rendah karbon membuat emisi karbon Indonesia
menjadi besar. Di tingkat internasional, Indonesia jauh di belakang negara dunia
ketiga lainnya, seperti Bolivia, yang secara keras mengingatkan negara Industri
untuk menurunkan emisinya serta membayar hutang ekologis (hutang iklim mereka)
kepada dunia dan negara dunia ketiga, bukan melalui metode carbon off-set.
Komitmen
pemerintah Indonesia untuk mereduksi emisi dari sektor energi dan sektor
kehutanan (praktek konversi lahan) sebesar 26% pada tahun 2020 sebagaimana yang
disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat pertemuan
KTT G-20 di Pittsburgh pada bulan September yang lalu hanya akan mempermalukan
Indonesia di dalam kancah perundingan terkait dengan perubahan iklim. Karena
sebelumnya pada saat pertemuan G-8 di Hokaido Jepang Presiden SBY juga pernah
menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi dari sektor kehutanan
sebesar 50% pada tahun 2009. Tapi sampai dengan hari ini, komitmen tersebut tak
lebih dari sekedar cek kosong dalam perubahan iklim.
Rencana
Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang diterbitkan pada 20 September 2011
lalu masih terlalu general dan memberikan ruang terhadap konversi kawasan hutan
untuk perkebunan kelapa sawit, penebangan kayu serta tidak memuat penyelesaian
konflik tenurial yang menjadi persoalan mendasar pengelolaan kawasan saat ini.
Selain itu juga Perpres 61 tahun 2011 ini tidak menjawab bagaimana koordinasi
dan penyelarasan program secara lebih konkret baik antar sektor maupun antar
pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Sementara disisi lain sebelumnya
pemerintah mengeluarkan kebijakan percepatan pembangunan melalui program MP3EI
(Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang sudah pasti lapar
tanah dan sumberdaya alam yang berpotensi besar merusak lingkungan dan
menimbulkan konflik dengan masyarakat.
Pemerintah
tak pernah menunjukkan upaya serius untuk menghentikan laju deforestasi,
melainkan terus menerus mengeluarkan kebijakan konversi hutan alam, seperti
mengeluarkan 20 izin RKT seluas ratusan ribu hektar diatas hutan alam di
propinsi Riau pada tahun 2008 untuk mendukung kebutuhan kayu industri bubur
kertas.
Pemerintah
juga terus akan mengembangkan perkebunan sawit seluas 12,9 juta hektar di 12
wilayah untuk mendukung program biofuel di Indonesia. Hal ini juga sejalan
dengan tujuan pemerintah untuk terus meningkatkan produksi CPO sebesar 40 juta
ton pada tahun 2020 untuk mendukung kebutuhan ekspor sebesar 60% dan sisanya
untuk kebutuhan energi, pangan dan lain sebagainya. Padahal, sebagaimana yang
kita ketahui setiap satu ton CPO akan menghasilkan dua ton CO2 (Wetlands
International, 2006).
6.
Pertanian, Kemiskinan dan Konflik
Hingga
kini kemiskinan di pedesaan dan pertanian juga tidak pernah menjadi perhatian
pemerintah sekarang. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian adalah
44,3 persen. Namun, mereka hanya menyumbang 15.9 dari PDB Nasional 2008 yang
berarti sebagian besar petani hidup dalam kemiskinan. Rata-rata kepemilikan
lahan yang dipunyai oleh petani hanya 0.17 hektar lahan/perkapita. Sebagian
besar di dalamnya adalah buruh tani yang tidak mempunyai lahan sama sekali
(landless). Sementara itu, terdapat 12.418.056 (dua belas juta empat ratus
delapan belas ribu lima puluh enam) hektar tanah terlantar (Deptan 2007) tidak pernah
diberikan kepada rakyat.
Selain
miskin, rakyat setiap hari juga harus berhadapan dengan perampasan tanah.
Hingga tahun 2008, tercatat 10,8 juta hektar tanah petani dan masyarakat adat
telah dirampas oleh perusahaan yang difasilitasi negara. Ada lebih dari 1,1
juta KK yang menjadi korban. Mayoritas konflik tersebut menempatkan perempuan
dan anak-anak sebagai pihak yang paling menderita, akibat kerentanan dan
kondisi ketidakadilan gender yang selama ini sangat menyolok dalam pengurusan
kekayaan alam Indonesia.
Yang
juga patut dicermati adalah masih kuatnya pendekatan kekerasan, dan
kriminalisasi oleh negara dalam pengelolaan sumberdaya alam. WALHI mencatat
hingga hingga tahun 2008 terdapat 317 kasus sengketa agraria dan sumberdaya
alam yang melibatkan rakyat berhadap-hadapan dengan kekuatan aparatur negara
dan modal. Keseluruhan kasus tersebut, rata-rata mengandung unsur kekerasan dan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Merujuk data Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM), terdapat 4000 kasus konflik yang timbul atas perebutan
kawasan kelola atas sumberdaya alam (2008).
Sementara
itu, Konsorsium Pembaruan Agraria, mencatat bahwa hingga tahun 2007 terdapat
1.537 konflik agraria di Indonesia dengan melibatkan 10 juta hektar tanah dan
10 juta penduduk. Sedangkan Sawit Watch, salah satu organisasi yang konsen pada
isu perkebunan sawit dan HAM mencatat sampai untuk tahun 2007 terdapat 514
kasus yang terjadi di 14 propinsi, melibatkan rakyat, serta 141 perusahaan
sawit, dari 23 group usaha dan pemerintah.
Data
konflik LH dan PSDA ini hanya yang muncul di permukaan. Sebab, BPN Pusat hingga
tahun 2007 mencatat tanah sengketa yang telah lama umurnya berjumlah 7.491
kasus. Penyelesaianya baru diselesaikan 591 kasus pada tahun 2007, dan 1.600
kasus pada tahun 2008. Dalam beragam konflik SDA dan agraria ini, persoalan
administratif penguasaan atas tanah dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) menjadi
salah satu pokok soalnya.
7.
Lingkungan Hidup, Utang dan Korupsi
Merujuk
laporan Koalisi Anti Utang, hingga Juli 2009, untuk outstanding Surat Utang
Luar Negeri (SUN) saja sudah hampir menyentuh angka Rp 900 triliun. Kenaikan
jumlah utang luar negeri terus meningkat setiap tahun dan membebani Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagai ilustrasi, hingga akhir Juli
2008, total utang negara sudah mencapai sebesar Rp 1.462 triliun. Jumlah itu
hampir mencapai angka 2 kali lipat APBN 2007. Hampir separuh utang luar negeri,
atau sebesar 32,7 miliar dollar AS, berupa utang bilateral. Dari angka
tersebut, 40 persen adalah utang dari
Jepang.
Secara
nominal, utang kita terus meningkat dalam delapan tahun terakhir, yaitu sebesar
Rp 298 triliun. Sedangkan penambahan utang yang terjadi selama masa
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tercatat sebesar Rp 194 triliun.
Selama
ini utang luar negeri yang sangat besar tersebut tidak digunakan untuk rakyat,
tetapi menjadi sumber bagi pembiayaan kepentingan modal dan investasi besar.
Investasi dengan modal besar ini, secara eksploitatif semakin menurunkan
kualitas dan daya dukung lingkungan. Di satu sisi, negara dengan menggunakan
pajak rakyat, harus membayar bunga dan cicilan hutang pokok dalam jumlah yang
sangat besar.
Untuk
tahun anggaran 2008-2009 pembayaran cicilan pokok dan bunga utang mencapai Rp.
495,69 triliun atau setara dengan 58 persen pendapatan negara, atau
menghabiskan 75 persen pendapatan pajak dalam APBN 2009.
Hingga
Agustus 2009, utang luar negeri Indonesia sudah mencapai Rp 1.6000 trilun (kurs
11.000/US$). Angka ini, menjadikan setidaknya setiap jiwa rakyat Indonesia hari
ini harus menanggung beban utang sebesar Rp 8 juta!
Sementara
itu, di tengah situasi krisis dan kemisinan rakyat Indonesia, watak korupsi dan
bermewah-mewah aparat kita masih menonjol. Hingga tahun 2007, Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) menemukan total penyimpangan anggaran negara sebesar 3.600
triliun rupiah. Ada 40% yang berpotensi dikorupsi. Anggaran negara yang dicuri,
lebih besar dari total tanggungan subsidi BBM, subsidi pupuk dan bantuan tunai
langsung (BLT).
8.
Privatisasi Yang Melumasi Krisis
Ekologis
Pemerintah
juga terus melakukan privatisasi dan swastanisasi aset-aset strategis publik,
seperti BUMN, industri migas, perusahaan listrik negara, perbankan nasional dan
lain sebagainya. Sedikitnya 34 BUMN strategis hendak dijual oleh pemerintah
kepada pihak swasta (mayoritas asing) melalui Komite Privatisasi Perusahaan
Perseroan dengan Keppres 18 tahun 2006. Privatisasi ini mendorong semakin
meningkatnya krisis lingkungan hidup dan sumberdaya alam di Indonesia, dimana
beberapa diantaranya mengelola sektor sumber daya air, mineral, energi,
perkebunan dan kehutanan. Penyerahan BUMN strategis bidang SDA kepada mekanisme
pasar bebas ini juga secara ekonomik melumasi bencana ekologis. Akses dan
kontrol negara dan rakyat atas LH dan PSDA berpindah ke tangan modal swasta.
9.
Sektoralisme, Pemasalahan Kebijakan
Lingkungan dan Sumber Daya Alam
Sektoralisme
dalam pengelolaan sumber daya alam telah berjalan selama puluhan tahun, dimulai
dengan dibukanya keran penanaman modal asing di masa Orde Baru. UU No.1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang ternyata keluar lebih dahulu daripada
UU No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, segera disusul oleh UU
No.11 Tahun 1967 tentang Pertambangan. Kebijakan ini melancarkan datangnya PT.
Freeport ke Indonesia, yang kemudian terus menerus diperpanjang kontraknya
sejak 1967 hingga 2041. Selama itu pula,
hingga kini tidak ada suatu kesatuan pandangan tentang pengelolaan sumber daya
alam. Bahkan sebuah kebijakan
pembaharuan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam (Ketetapan MPR No.IX Tahun
2001) yang belakangan lahir atas kesadaran adanya ketidaksinkronan berbagai
kebijakan sektoral dan ketimpangan dalam pengelolaannya menjadi mandul karena
tidak pernah dijalankan oleh pemerintah dan DPR.
Faktanya kini, 10
tahun sejak Tap MPR tersebut lahir, kebijakan agraria dan sumber daya alam yang
ada tetap bersifat sektoral dan kadang saling bertentangan. Ketiadaan aturan
yang general tentang sumber daya alam pun menyulitkan dalam UU lainnya misalnya
saja, UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan sebuah PP
tentang “penatagunaan sumber daya alam lainnya” padahal pengertian “sumber daya
alam lainnya” tersebut tidak pernah dijelaskan sebelumnya, dan tidak ada UU
lain yang dapat dijadikan pedoman.
Reference:
http://nitanovitasr.blogspot.in/2015/03/pengelolaan-sumber-daya-alam-indonesia.html
http://ahmadeibrahim.blogspot.com/2015/03/pengelolaan-sumber-daya-alam-di.html
0 komentar:
Posting Komentar