Home » » Eman Sulaeman Pelopor UKM Keramik Plered

Eman Sulaeman Pelopor UKM Keramik Plered


Seandainya perajin keramik di sentra industri keramik Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, mau bersatu dalam wadah asosiasi atau koperasi, produk mereka akan kompetitif. Namun, hal itu tidak terjadi. Mereka malah ”bertempur dalam kandang” dan menyebabkan hasil industri kerajinan peninggalan leluhur atau karuhun itu didikte oleh pasar.

Pernah beberapa kali pelaku usaha keramik tradisional itu disatukan dalam wadah koperasi. Namun, mereka malah berutang pada koperasi. Padahal, saat itu mereka dimanjakan berbagai fasilitas, termasuk bantuan modal pemerintah.

”Anehnya, kalau membeli bahan baku dari luar koperasi, mereka mau membayar tunai. Kalau kepada koperasi, selain utang, tidak jarang mereka juga ngemplang. Akhirnya koperasi yang bangkrut,” kata H Eman Sulaeman (45), Ketua Koperasi One Village One Product (OVOP) Desa Anjun, Plered, Purwakarta.

Bayangkan, jika perajin mau bersatu, ada 268 usaha keramik yang membutuhkan ratusan ton bahan baku tanah liat yang sudah diolah, belum lagi cat dan bahan baku lain. Menurut perhitungan Eman, kebutuhan modal kerja setiap unit perajin mencapai Rp 100 juta per minggu. Ini membentuk putaran usaha lebih dari Rp 1 miliar per bulan. Ini nilai raksasa buat ukuran desa.

Oleh karena membeli bahan baku tak dilakukan bersama-sama, harganya menjadi tinggi. Begitu pula dalam hal desain dan melempar produk ke pasar, dilakukan oleh perajin masing- masing. Akibatnya, produk keram dari dalam koperasi.

Dia pun berusaha membuka pasar luar negeri dengan mengikuti berbagai pameran internasional di Jakarta. Pada Maret lalu, misalnya, dia memenuhi undangan pameran Jakarta Expo IFEX di Arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat. Oktober 2014 mendatang dia pun menyanggupi ikut pameran produk ekspor di Jakarta.

”Dengan ikut pameran internasional, kita bisa langsung berkenalan dengan pembeli sebab belum tentu orang-orang bule itu mau berkunjung ke pedesaan di Plered,” ujar dia.

Kesulitan pekerja

Walaupun belum begitu besar, upaya itu mulai membuahkan hasil. Pada triwulan pertama tahun 2014, Eman mendapatkan pesanan dua kontainer untuk ke Eropa. Satu kontainer berisi berbagai bentuk keramik hiasan hingga vas bunga. Nilainya 10.000 dollar AS-15.000 dollar AS atau Rp 120 juta- Rp 180 juta.

Mengapa Eman berorientasi ekspor? Alasan dia, walaupun persyaratannya lebih jelimet, untuk produk yang sama, harga keramik ekspor bisa 4-5 kali harga pasaran lokal. Dengan keuntungan lebih itu, perajin bisa membayar buruh putar keramik lebih dari sekadar upah minimum kabupaten. Kondisi ini diharapkan menarik minat pekerja untuk menekuni kembali kerajinan karuhun itu.

Selama ini perajin di sentra keramik Kecamatan Plered dan Tegalwaru menghadapi ketidakpastian masa depan karena sulitnya mencari tenaga kerja, terutama buruh putar. Sebagian besar anak muda lebih tertarik bekerja di pabrik modern. Mereka merasa lebih bergengsi ketimbang menjadi kuli ari, yakni buruh genteng dan keramik.

”Anak muda lebih tertarik bekerja di industri tekstil dan otomotif di kawasan industri Kabupaten Karawang dan Purwakarta,” ujar Kepala Urusan Ekonomi dan Pembangunan Kecamatan Plered Aris Syarifudin.

Bekerja di sentra keramik itu bagi mereka tidak membanggakan. Penampilan mereka selalu kotor dan lusuh karena harus bergelut dengan tanah liat.

Selain itu, upah yang diterima pekerja keramik umumnya juga lebih rendah daripada upah minimum kabupaten yang diberikan oleh perusahaan industri modern. Masih adanya pekerja keramik yang menekuni pekerjaannya umumnya karena terbentur ijazah sehingga mereka tidak bisa masuk pasar kerja industri.

Selain itu, umumnya mereka juga adalah pekerja yang berusia rata-rata di atas 40 tahun. ”Pada titik inilah awal dari perjuangan kami,” ungkap Eman.

Masih menarik

Keramik sebagai bentuk kerajinan di kawasan Plered ada sejak zaman penjajahan Belanda. Sekitar tahun 1795, di sekitar Citalang, di daerah aliran Sungai Citarum, sudah ada lio- lio, yakni tempat pembuatan genteng dan batu. Bahkan, di sekitar Desa Anjun sudah dimulai pembuatan gerabah atau tembikar.

Tahun 1935 gerabah menjadi industri rumah tangga dan pada tahun itu pula berdiri perusahaan Belanda yang membuat pabrik keramik besar. Nama pabrik itu Hendrik De Boa di Warungkandang, Plered.

Pada zaman penjajahan Jepang, kerajinan keramik mengalami kemunduran akibat penduduk harus bekerja sebagai romusa. Jepang pun menguasai pabrik De Boa dan mengganti namanya menjadi Kaki Kojo. Pada masa kemerdekaan, produksinya nyaris terhenti karena penduduk terlibat dalam perjuangan merebut kemerdekaan.

Mulai akhir tahun 1945, kerajinan keramik Plered berangsur bangkit. Apalagi sejak tahun 1950 Bung Hatta membuka resmi induk keramik yang gedungnya di dekat Gonggo, Plered.

Saat itu Bung Hatta mendatangkan mesin-mesin dari Jerman sehingga keramik Plered mencapai masa kejayaan karena produksinya relatif tinggi. Selain itu, induk keramik tersebut juga berjasa dalam membimbing industri rumah tangga hingga berkembang pesat.

Sayang, harapan Bung Hatta agar perajin berusaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan tidak terjadi. Akibatnya, usaha keramik makin terpuruk karena antar-perajin bersaing secara tidak sehat dan cenderung saling menjatuhkan.

Kondisi inilah yang dicoba diperbaiki dan dibangun kembali oleh Eman melalui Koperasi OVOP. Keyakinan Eman semakin kuat karena pada setiap pameran keramik yang diselenggarakan, baik untuk ekspor maupun lokal, menunjukkan banyaknya permintaan peminat.

Apalagi tampilan keramik Plered mempunyai keunikan dan keunggulan karakter, desain, bentuk, warna, serta tekstur yang memikat.


Source: kompas.com

0 komentar:

Posting Komentar